ditulis : juli 2009 (lupa tanggalnya/beberapa hari sebelum MU batal tanding ke Indonesia)
sebuah obrolan santai tentang “Inggris”, teknologi informasi, dan pendidikan
Di tengah permasalahan sosial saat ini, ditengah umbaran janji-janji calon presiden dan problematika DPT, sampai perkiraan timnas Indonesia All-star menang melawan MU, saya memilih untuk menenangkan diri, lebih tepatnya escape sejenak untuk duduk di sebuah coffee shop. Anda tidak usah bertanya dimana coffee shop itu, dan juga jangan dibayangkan tempat yang cozy dengan fasilitas wi-fi. Coffee shop ini sangat tidak menarik untuk dilihat dan menyalahi paham pemasaran sekarang dengan show case apa adanya. Seperti kebanyakan, menunya sangat biasa yaitu, kopi dan bermacam gorengan. Walaupun begitu, tempat ini menurut saya sangat nasionalis sekali, karena beragam karakter dan latar belakang diterima dengan hangat disini tanpa sedikitpun mengamalkan sikap primordialisme yang berlebihan (ah, sekiranya Indonesia bisa seperti itu). Satu hal lagi, di tempat ini isu-isu terbaru sering dibahas, dan kita bebas bersuara, beropini, ataupun mengomentari tanpa harus takut dituntut dan akhirnya dipenjarakan seperti kasusnya Prita. Dan hal ini yang membuat saya betah berlama-lama ditempat itu dan saya memposisikan diri sebagai pendengar yang baik untuk jual-beli opini tersebut . berawal dari “obrolan warung” berikut inilah tulisan ini di tulis.
“Sekarang ini SD kita sudah hebat lho?” seorang pelanggan membuka pembicaraan.
“Apanya yang hebat pak?” pengunjung yang lain menimpali.
“Iya! Hebat! karena sekarang saja SD sudah ada pelajaran bahasa Inggrisnya, itu tandanya generasi penerus bangsa ini bakalan maju.” Kata bapak itu membalas.
“Kok bisa maju pak? Katanya gara-gara bahasa Inggris, akhirnya bahasa sendiri gak ada yang beres, terus lambat laun budaya bangsa ini akan ditinggalkan.” Kata pelanggan yang lain.
“Kalau saya sih tidak berfikir sampai sejauh itu. lha wong saya ini kan bukan budayawan, saya kan cuma pernah dengar, katanya bahasa Inggris itu bahasa dunia, bahasa bisnis. Jadi kalau bisa menguasai bahasa Inggris berarti bisa menguasai dunia sekaligus bisnisnya.” Kata bapak itu menjawab.
Pengunjung yang lain mengangguk tanda sepaham.
Saya diam….
Opini bapak pelanggan warung kopi tadi mungkin tidak seratus persen benar, dan memang tidak bisa seratus persen benar, dan sepertinya tidak bisa juga untuk disalahkan. Karena kita tahu bahwa opini adalah hasil output dari persepsi setelah melalui tahap sikap. Tetapi paling tidak hal itu bisa kita lihat pada kenyataan yang ada sekarang ini, mulai dari usia pre-school bahasa Inggris sudah diajarkan. Terkadang saya juga berpikir, apa makna dari buta huruf atau illiteracy itu sekarang. Sempat terlintas dipikiran saya bahwa di zaman yang serba cepat dan segala sesuatu adalah harus Information Base Technology, menyebabkan illiteracy mengalami pergeseran makna, yang dulunya mungkin dianggap sebagai ketidakmampuan seseorang untuk membaca dan menulis, menjadi ketidaktahuan tentang penguasaan bahasa Inggris secara umum dan penggunaan aplikasi komputer. Bukan tanpa dasar, indikasi awalnya sering kita jumpai di hampir setiap pengumuman lowongan pekerjaan, baik itu di koran maupun media lainnya mencantumkan pelamar paling tidak menguasai kemampuan tingkat dasar dalam berbahasa “Inggris” dan “aplikasi komputer”. Sepertinya kebutuhan akan penguasaan dua kemampuan tersebut menjadi kebutuhan dan tujuan saat ini.
Dari sudut pandang yang berbeda, tentang berbagai disiplin ilmu yang di terapkan baik di dunia kampus, dan mundur kebelakang sampai tingkat sekolah dasar. Suka ataupun tidak, baik itu berupa buku materi, buku panduan, teori-teori dan bahkan hasil riset terbaru, hampir seluruhnya menyadur dari dunia luar, yang notabene menggunakan bahasa Inggris. Kalaupun ada dari dalam negeri, itupun juga harus dimasukkan kedalam jurnal ilmiah dengan versi bahasa Inggris. Apalagi kalau kita berbicara masalah Information base Technology yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Akan kita temui banyak hal yang saling berkaitan antara kemampuan dasar berbahasa Inggris dan hasil karya teknologi tersebut. Internet, sebagai contoh, begitu banyaknya pelajar, mahasiswa, guru, dosen, professional, dan termasuk penulis sendiri menggunakan fasilitas internet tersebut untuk menunjang pengembangan keilmuan, informasi dan networking mereka.
Di lain pihak, pemerintah pun melalui jajaran departemen-departemennya terus berupaya “memaksa” penguasaan kedua skill tersebut secara tidak langsung. Departemen Komunikasi dan Informasi (depkominfo) misalnya, mengupayakan internet masuk sekolah dan desa, serta menabuh genderang untuk internet murah. Departemen Pendidikan Nasional menyediakan jasa on-line untuk pelajar dan pendidik yang ingin mengunduh electronik book (e-book) secara murah sebagai alternatif penunjang sumber belajar-mengajar. Tentunya, program saja tidak bisa serta merta menjadikan tujuan itu tercapai dengan mudah, campur tangan dan kerjasama semua pihaklah yang berperan sangat penting dalam hal ini. Seperti dengan tersedianya hot spot di beberapa daerah tertentu dan pengadaan tenaga pengajar untuk bahasa inggris di tingkat dasar misalnya, adalah bukti salah satu peran serta aktif pemerintah daerah untuk tetap berkomitmen mengupayakan peningkatan mutu dan kualitas masyarakatnya, guna memerangi buta huruf . Sekarang, tinggal keinginan masyarakat itu sendiri untuk mau menggunakan dan mendukungnya.
Di tengah lamunan saya, si ibu penjual kopi nyeletuk “Alah pak…! ngapain sekolah tinggi-tinggi, pinter… ujung-ujungnya juga kayak saya jualan kopi…”
Pelanggan yang lain mengangguk dan berkata “Betul itu bu..! cari uang aja susah, malah ngomongin Inggris.”
Bapak tadi diam sambil tersenyum kecut…
Saya senyum-senyum sambil bergumam…
“ Ah… Ibu, gara-gara saking sibuknya jualan, pasti belum sempat nonton iklan pendidikan gratis di TV yang di bintangi oleh Cut Mini, atau jangan-jangan… si ibu belum bisa beli TV!?”