(Mengapa) PERBEDAAN ADALAH RAHMAT?

Tak sampai semimggu kemarin terdengung “Perbedaan adalah Rahmat”. Ramai orang berbicara tentang ini, dan tentu saja lebih sering dikaitkan dengan keputusan awal puasa Ramadhan, bahkan ada yang “visioner” sampai kepada penetapan Iedul Fitri kelak. Hal yang menurut saya lumrah di negeri yang senang “latah”. (btw, bagaimana dengan tulisan ini? *eh)

Banyak anggapan tentang “Perbadaan adalah Rahmat” yang akhir-akhir ini muncul adalah sebagai “pembodohan” bagi ummat… entahlah… Bagi saya sendiri tadinya perkataan itu sendiri (hanya sekedar) cenderung sebagai “emergency exit” ketika dua argumen atau lebih sudah tidak dapat dipadukan menjadi mufakat.

Seiring dengan kerasnya dengungan “Perbedaan adalah Rahmat” terlebih semenjak dua hari kemarin membuat saya penasaran mencari tahu, darimana sich asal muasal perkataan “Perbedaan adalah Rahmat” alias “Ikhtilaful ummati rahmatun” itu? Setelah bertanya sana-sini dari sumber orang yang “saya” percayai samapai yang “agak” kurang saya percayai…. Dan hasilnya malah bikin saya tambah bingung… ngung… ngung…

Ada yang mengatakan itu dari Al qur’an (mohon, kalau ada pembaca yang mengerti akan ini, saya yang kurang ilmu ini diberitahu ya), ada juga yang bilang (nulis) itu dari hadist yang tergolong dhaif (sekali lagi… mohon, kalau ada pembaca yang mengerti akan ini, saya yang kurang ilmu ini diberitahu lagi ya).

Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak meneruskan “pencarian” tentang itu, paling tidak untuk sementara waktu… saya beralih …

Tak sengaja saya melihat teman saya melintas…. Muncul tanya “mengapa kami TIDAK SAMA?”. Saya melihat tangan… kenapa ini BEDA letaknya? Saya lihat sepasang saudara, dan nampak jelas siapa kakak, siapa adik. Saya melihat laki-laki dan perempuan lalu lalang di depan kost tempat tinggal sementara saya, tak saya temui yang sama antara mereka. Lihat tumbuhan… hewan.. dan macam-macam…

tapi indah….. dan wajar….

Bukankah sangat mudah Allah SWT membuat semuanya menjadi sama… tidak berat bagi Allah SWT untuk menyatukan satu pendapat bagi ummat…

Nampaknya saya ini agak jumawa dengan otak pinjamanNya…

Saya harusnya sadar, inilah PERBEDAAN ilmu saya (manusia) dan ALLAH SWT.

Bagaimana mungkin, ilmu saya yang amat sangat sedikit ini mau SAMA dengan ilmuNYA

Tidakkah saya ingat “perbedaan-perbedaan” yang saya nikmati tersebut menyenangkan hati dan membuat bumi ini “hidup” ?

Saya malu…. Jikalau bertemu denganNYA… Rabbighfirliii…

Salam…

*ditulis hari Sabtu 21-7-2012


Sebuah tulisan menjelang RAMADHAN

Baru tadi malam saya diundang seorang teman lama untuk menghadiri soft opening sebuah hotel di Yogyakarta. Hotel yang merupakan anak bungsu dari keluarga hotel ternama di Indonesia yang level bintangnya bisa dipilih sesuai selera si empunya, atau setidaknya begitu kata salah seorang pejabat dalam sambutannya. Hotel tersebut memang terlihat sangat mewah walaupun beberapa bagian masih belum purna pembangunannya. Terlihat dari desain boulevard (barangkali) yang menghantarkan kita dari gerbang masuk menuju lobi utama sampai ke kolam renang, tempat dimana side pool party yang menjadi konsep acaranya digelar.

Jangan ditanya posisi saya sebagai apa, saya pun “belum” mengerti posisi teman lama tadi disana yang sudah berani mengundang saya, dan saya pun yakin kalau saya bukanlah salah satu pemegang sahamnya. Intinya saya adalah tamu undangan biasa yang akan siap bertepuk tangan kalau hukumnya sudah diwajibkan.

Menjadi tamu undangan ini bukan perkara gampang. Syarat utamanya adalah undangan harus memiliki undangan… Nah! Untunglah, sebelumnya, teman lama tadi sudah ngasih yang namanya undangan tersebut, tapi proses ngasih-nya disertai pesan…. (kok ada ”tapi-nya”, perasaan saya jadi ga enak)

“boi, ntar klo lu ditanya dari mana, jawab aja dari manaaa gitu

Saya mulai bingung… bukankah saya bisa jawab saya dari Kalimantan, atau lebih simple kalau dari kost saja? Lamaaaa… saya memahami “dari manaaa”-nya pesan teman tadi. Ternyata yang dimaksud adalah dari perusahan/instansi. Lha…! Saya kan…. Ahhhh sudahlah…

Saya mengerti… teman saya tadi pun sangat memahami siapa saya. Saya terima saja itu sebagai upayanya meng-UPGRADE “level” saya diantara tamu-tamu undangan lain yang notabene berpenampilan parlente.

Entah kenapa, sebut saya salah atau apalah, tapi sepenglihatan saya mereka yang hadir disana sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meng-UPGRADE “level” dirinya agar layak berbaur, berdiri di depan mic penghormatan, duduk-duduk di tempat yang mewajibkan table manner, ataupun hanya sekedar ber- haha hihi.

Upaya meng-UPGRADE “level” tersebut ternyata merupakan perkara serius. Semua itu harus diNIATkan, perlu USAHA, dan bahkan penuh PENGORBANAN. Betapa tidak, bagaimana wanita-wanita muda ataupun yang berjiwa muda setengah tua merelakan beratus ribu (barangkali) uang suami mereka diberikan kepada tempat yang bernama “salon” untuk acara yang tidak lebih dari dua jam tersebut, dan tidak sedikit dari mereka yang kalau berjalan terlihat agak tidak wajar dikarenakan heels yang tinggi. Sementara, pihak laki-laki tidak mau kalah, mereka “berbicara” tentang “kerajaan” -nya yang tercitra dari attitude, suara beratnya, dan alas kaki yang kinclong bak cermin.

Saya menghela nafas…

membuang pandang, melirik langit…. malu..

saya ingat Allah

Tuhan saya…..

RAMADHAN, bulan dimana seluruh muslim sadar akan kewajibannya berpuasa, adalah kesempatan untuk proses UPGRADING “level” ini sehingga menjadi layak berbaur di tempat yang diberitakan penuh akan damai “… yang dibawahnya mengalir sungai-sungai”. Sebuah undangan dari Sang Pencipta, undangan khusus dengan panggilan khusus pula bagi mereka yang diundang, maka akan sangat dan sangat… sangat… wajar jika kesungguhan NIAT, totalitas USAHA, dan PENGORBANAN nafsu menjadi syarat untuk menghadiri jamuannya.

Tentu bukanlah kapasitas saya menguraikan hikmah puasa Ramadhan, bukan pula tujuan saya menjadi askar bercemeti untuk menghalau. Saya menunjuk hidung “saya” dengan hal sederhana, agar tidak mudah terlena akan fana, agar saya merasa benar-benar diundangNya…

Selamat menyambut bulan RAMADHAN, bulan yang seharusnya dinanti-nantikan…

 

Salam…..

Yogyakarta, 18-7-2012

*ditulis selepas Zuhur, ketika mendung pertama setelah kembali ke Jogja.


MANUSIA setengah MANUSIA

“aku orang keras, terwarna pada kelam kulit, tergurat di dahi”
begitu aku berteriak..
meneriakkan diri, agar mereka tahu aku penuh isi

kau boleh tantang
tetap suaraku lebih lantang

ketidak-adilan, ketidak-jujuran, kecurangan
apa yang tak kuteriakkan?
dari urusan perut sampai ampas olahannya
kuteriakkan!

aku ini imam nyentrik, yang berdiri di belakang makmum
memakai gamis “teriak” bersurban “ujub”
menutup kelam kulit agar tampak bercahaya

aku ini idealisme berjalan
panutan anggun penuh kesempurnaan
aku ini orang suci tanpa cela
karena selain diriku adalah keliru

tahu apa kalian tentang kebenaran, keadilan, kejujuran?
falsafahmu keliru! keyakinanmu keliru! pun hidupmu keliru!
tak usah kau berdebat denganku, nanti kuteriaki kau sebagai pemalsu

sudah kubilang…
“aku ini orang keras, terwarna pada kelam kulit, tergurat di dahi”
begitu aku berteriak..
meneriakkan diri, agar mereka KIRA aku penuh isi

*Ngayogyakarta, 11 Juni 2011, menjelang Zuhur


Menanti “syuting” FTV

lokasi: di depan kost2an

lokasi: di depan kost2an

by Raymon Rahmadhani on Monday, January 17, 2011 at 7:58pm

Kabar kalau FTV akan mengambil tempat di rumah kost, yang saya tempati dari 6 bulan lalu, sudah berhembus sejak seminggu belakangan, yang saya kira itu cuma sekedar kabar (kabar: kayaknya nama burung nuri peliharaan bapak kost). Tapi tadi sore ibu kost (ibu yang punya kost2an, masak ga ngerti..?) ngasih tau saya kalau syuting-nya akan dimulai di hari rabu, minggu ini.

Setelah dengar kabar dari ibu kost, bahwa syuting FTV mulai besok rabu, saya iseng-iseng melamun sejenak, membayangkan…… jikalau saya diajak acting jadi cameo (hahaha.. dan itu imposible pastinya) mungkin akan begini kejadiannya:

(lokasi: didepan kost2an, jam 11 siang, cuaca panas terik)

Sutradara FTV: “Mas!… aduh… siapa tadi namanya?”

Aku: “Raymon, mas..”

Sutradara FTV: “oh.. iya, begini nih mas Raymon… ntar kalo saya bilang eksyen, mas masuk…ya… terus jalan lewat belakangnya si mbak tokoh utama… ga usah cepet2… kalem aja.. biasa….. bisa kan?”

Aku: “oh.. iya, bisalah… siiip”

Sutradara FTV: “Okeh, kalo gitu kita siap2…YUUUKK… KAMERA RRROOoo…”

Aku: “eh mas2..! mas sutradara..! sebentar..!”

Sutradara FTV: “eh iya, ada apa mas raymon? gugup ya?”

Aku : “ah nggak kok, aa..anu.. maaf mau tanya.”

Sutradara FTV: “ohh iya ada apa? tanya aja mas, santai….”

Aku: “emmm gini.. ntar kan saya jalan ngelewatin mbaknya..”

Sutradara FTV: ” iya teruuus…?”

Aku: “Terus pas udah satu frame sama dia…”

Sutradara FTV: “he eh.. trus?”

Aku: “sayaaaa…… boleh pose sebentar ga?”

Sutradara FTV: “MAAKSSUUUD LOH…..!!!?”


JUDGE A BOOK BY ITS COVER

‎Thursday, ‎December ‎02, ‎2010, ‏‎8:00:06 AM

Sebelum saya mengutarakan ini, saya ingin anda mengerti bahwa ini murni uneg-uneg saya, jangan dipercaya apalagi di yakini sebagai kebenaran. Anda boleh mempunyai pendapat yang berbeda, tapi ijinkan saya bersuara.

Sering kali kita mendengar statement yang mengingatkan kita tentang “don’t judge a book by its cover” yang sederhananya bahwa janganlah menilai seseorang dari kulit luarnya. Ajaran untuk selalu ber-huznudzan adalah benar adanya, dan saya sedikitpun tidak (apalagi berani) menentang hal tersebut.

Faktanya……. (kayaknya saya tidak bisa mengelak dari generalisasi dech…)

”Judge a book by its cover” lebih diterima disini, di zaman orang lebih mementingkan besarnya tong dari pada isinya, di zaman maraknya pembangunan citra, di zaman penuh kepura-puraan bin sinetron (dan itu mungkin juga sekarang mulai menjangkiti saya, bukan anda lho…). Tidak perlu terlalu dalam dengan pembahasan itu, Sama seperti gombalnya lelaki yang bilang ke lawan jenis yang sekarang jadi pasangannya, bahwa dia jatuh hati karena inner beauty si perempuan sebagai love at the first sight (walaupun dalam hatinya berkata bahwa itu-mu lah yang membuat mataku tak berkedip) Ya kaannn…? bahkan pada saat berjalan-jalan di toko buku, tanpa punya tujuan buku apa yang harus dibeli, terkadang kita lebih melihat pada cover (paling tidak memegangnya) sebelum memutuskan untuk membeli.

Saya langsung tertuju pada tulisan pidi baiq yang bertulis:

….Salah satu dari mereka berkata lagi: “Ceritakan kepada kami tentang binatang, Ayah?”

Aku ajak mereka duduk di sebuah bangku yang tidak jauh dari taman.

Aku berkata: “Dengarkanlah, seandainya engkau adalah seekor kucing, jangan disebabkan karena menggonggong sedang menjadi trend di masyarakat, maka hal itu menyebabkan engkau pergi kursus belajar menggonggong. Mungkin pada akhirnya engkau bisa, anakku, tetapi apa kata orang jika ada kucing yang menggonggong, padahal sesungguhnya kucing itu mengeong, karena itulah jati dirinya yang asli?”

Mereka berseru: “Terimakasih, Ayah, atas apa yang engkau sampaikan”

Kataku lagi pada mereka:  “Dan dengarlah, Anakku, sekiranya kalian adalah seekor bangau, jangan karena engkau ingin nampak gagah seperti harimau, maka telah menyebabkan engkau pergi membeli surai, barangkali engkau bisa membelinya, tetapi apa kata orang demi melihat ada seekor bangau yang memiliki surai. Seandainya engkau benar-benar ingin tentram dan juga ingin merasa nyaman dengan keadaan dirimu, maka jadilah dirimu sendiri.”

 

Tidak ada yang salah untuk membangun external appearance dan citra yang baik, asal jangan dipaksakan dan akhirnya mempermalukan diri sendiri. Seorang teman pernah berkomentar,  kenapa kalau orang desa berpakaian ala kota “masih” dianggap norak, sementara orang kota tidak? Saya pun tak tahu, mungkin saja dia salah tempat, waktu, dan lain-lain atau mungkin juga karena banyak faktor pendukung lain yang menyebabkan dia terlihat norak.            That’s just for the sake of the cover..

Saya mencoba bertanya…. Bertanya pada diri saya sendiri tentunya

Fenomena  judge a book by its cover ini tanpa disadari merasuk ke berbagai sendi kehidupan kita, seperti udara yang sengaja atau tidak kita menghirupnya. Fenomena ini (yang patut dicurigai jangan-jangan sudah menjadi budaya) meresahkan karena menghasilkan sikap dan pola pikir baru. Bukan cuma tentang mahasiswa yang berjalan dengan bersusah –payah menenteng beberapa buku tebal berbahasa asing kemana-mana lantaran pengen di “citrakan” sebagai seorang yang intelek dan berwawasan luas walaupun sebenarnya, tas ranselnya pun cukup untuk memuat buku-buku tersebut, walaupun sebenarnya yang dibaca baru sampai halaman daftar isi. Hal itu tidak terlalu jadi persoalan karena itu masalah si mahasiswa dengan otaknya, namun yang kita alami sekarang lebih dari itu.

Hal seperti ini dikhawatirkan menghasilkan bentuk manusia yang baru yang suka kamuflase, semu, dan lebih parah lagi penyebar kebohongan. Ngeri kan….? Mengaku ahlinya dan bersikap seperti ahlinya sesuatu padahal tidak. Kalau cuma sebatas mengaku dan act itu aja sih tidak masalah, tapi bagaimana kalau orang seperti itu sampai memberi wejangan dan di amini serta di ikuti oleh orang lain? (apalagi kalau orang itu adalah pemimpin/pemerintah kita) Kan…. jadi bahaya? Bisa saja kita bilang itu kan karena kebodohan si pengikut, tapi kita tidak bisa menafikkan bahwa itu termasuk potensi bahaya. Sudah di beritahukan titik aman dari awan panas 20km, terus kita dengan santai di posisi 4km bilang “ah… tenang, saya tidak merasa ada awan panas kok…” Langkah antisipatif tetap ada dan itu harus.

 

 

Ahhh… tau  ah gelap..

meminjam kata-kata seorang pujangga yang bernama Hasan Mustapa:

”manusia itu jarang betulnya, kalaupun betul sekadar kebetulan; manusia itu jarang salahnya, kalaupun salah sekadar kesalahan.”


Mendadak libur….

(maaf, tulisan ini telat di post)

Friday, ‎November ‎05, ‎2010, ‏‎10:00:31 AM

Jum’at pagi tepatnya tanggal 5 November 2010, setelah beberapa jam yang lalu sebagian warga Ngayogyakarta tumpah ruah di jalan-jalan bagian utara menuju ke bagian selatan kota dikarenakan Merapi sakit batuknya kumat lagi yang kabarnya kali ini lebih parah dari beberapa waktu lampau ketika “dia” mulai terserang penyakit itu. Sementara itu, saya juga sibuk melayani telpon dan sms dari orang-orang yang penuh perhatian kepada saya sehingga saya sangat tidak enak hati kalau sampai men-cueki­-nya walaupun kelopak mata pinjaman Tuhan ini begitu berat untuk melek dan badan yang mulai demonstrasi protes karena diperlakukan seenaknya; sebab tadi malam saya paksa kerja rodi utak-atik uji statistik untuk memenuhi tugas dari sang Profesor tempat saya menimba ilmu.

(Itulah sebuah konsekuensi tanggung jawab yang harus saya penuhi atas nama peningkatan kualitas diri dan tuntutan sebagai katalis kenaikan mutu pendidikan didaerah).

Yogya memang agak berbeda akhir-akhir ini, kota budaya itu terlihat muram secara fisik. Jalan-jalan bersih dan tertata seperti yang selalu membuat saya iri seketika teringat kampung halaman nun jauh diseberang, tak lagi nyaman di lalui. Debu dan pasir menutupi indah wajah kota gudeg ini. Khususnya pagi ini, setelah malam menyingkap rok-nya, tampak butiran pasir halus berjatuhan dari langit. Udara segar yang setiap pagi berhembus ringan melewati jendela kamar, tampaknya absent pagi ini. Burung nuri peliharaan bapak kos yang setiap pagi riuh-rendah menyanyi pun beringsut ke pojok kandang, tak bersuara. Hanya suara deru mesin kendaraan bermotor dan lolongan sirine ambulance yang sayup-sayup terdengar di kejauhan, menandakan adanya suatu pergerakan massive dari warga yang kalut.

Saya melirik jam tangan,

07.00 am,

hujan abu tidak ada tanda-tanda akan berhenti, malah sebaliknya. Perasaan saya tidak menentu, sesekali saya memandangi ujung tanaman pagar didepan kamar saya, yang sudah berganti warna menjadi putih pucat dan cenderung kelabu (sungguh kombinasi warna yang aneh) tertutup abu, sambil mengikat tali sepatu saya. Saya mantapkan niat untuk berangkat ke kampus, betapa ruginya saya kalau sampai tidak masuk hari ini, bukankah sudah separuh malam ini saya habiskan hanya untuk menyelesaikan tugas statistika. Saya ambil masker hijau “pemberian” teman kos beberapa hari yang lalu, yang katanya dia beli di apotik dengan harga Rp. 700,- sehingga dia tidak mengijinkan saya membayarnya. (entahlah kalau harganya Rp. 60.000,-).

Saya putuskan untuk tidak naik motor kali ini mengingat jarak pandang yang hanya bisa di indera kurang lebih 7 meter saja dan hey….! bukan hanya itu saja diluar sana sudah tersedia ber galon-galon oksigen campur SiO2, yang kabarnya jika terhirup dalam kadar yang lumayan tertentu bisa “merobek” jaringan paru. Karena ituah saya memilih berjalan kaki saja sambil berharap ada bus yang lewat. Belum sampai 100 meter saya melangkah, jumper n*ke abu-abu yang yang saya kenakan benar-benar abu-abu sekarang. Sepatu c*nv*rse putih saya pun juga menunjukkan warna yang senada dengan jumper. Ah…! Saya tidak mau kalah dengan keadaan ini! Maju terus pantang mundur! Waja sampai kaputing!

Sampai pada suatu ketika sebuah sms masuk memaksa handphone saya berbunyi, mengabarkan bahwa

”hari ini kuliah di liburkan…”    ….sigh!

Perlu saya jelaskan ”sigh” disana. Bukan berarti saya sok rajin… tapi…tapi…tapi…!!! (ah.. saya mulai ketularan menggunakan kata yang di ulang-ulang itu. Somebody should take responsibility for spreading the “tapi” virus). Tapi, karena saya jengkel, kenapa berita yang “menggemparkan” dunia persilatan itu tidak diberitahukan sedari tadi sebelum saya bersusah payah ber-abu …?

Ah… barangkali disana ada jawabnya… (kata Ebeit G. Ade) dibalik fenomena berisi jutaan makna… (ini kata gue.. hehe)


HARI INI HARI APA…?

Pengantar meludah:

  • tulisan iseng sehabis pulang dari kampus, setelah ditanya oleh mbak yang jagain kost “hari ini hari apa mas?”. Dan waktu sudah menunjukkan jam 11 siang… OMG..! ya ampyun.. segitunya mbak..?
  • tulisan ini sekarang menghiasi MAJEND (majalah jendela) di depan kamar si aku.
  • Cukup di baca saja, jangan terlalu di percaya. Karena bisa merusak mata dan rasa.
  • Berkesenian itu indah
  • Hidup Persib…!!! (kata kang Ibing, bukan saya)

………………………………………………………………………………………………………………

“Hari ini hari apa..?”

Begitulah si mbak bertanya kepada si aku

Disini… di depan kamar ini…. Hari ini…

Hari ini hari Jum’at, besok mungkin hari Sabtu

Kecuali besok kiamat atau hujan, maka tidak dinamakan hari sabtu

Dan si mbak mungkin akan kembali menggerutu

Karena celana dan baju yang dia cuci tidak kering sampai ke wilayah saku

Tadi, beberapa jam yang lalu

Burung-burung dan ayam-ayam ribut beradu

Hanya kucing-kucing yang diam membisu

Karena, dari awal si aku tinggal disini belum pernah mendengar mereka ber haha.. hihi.. huhu..

Tadi pagi kulihat si bapak pegawai bank BRI sibuk memakai baju

Teman si mahasiswa dari banyuwangi sudah siap dengan sepatu dan buku

Si anak ibu kos siap dengan vespa, si aku pikir mirip gurunya si naruto karena model rambutnya yang harajuku

Si para kang mas disebelah kanan-kiri kamar si aku entah sibuk apa si aku tak tahu

Sementara si aku masih bingung memikirkan penting mana antara mandi, buang hajat, dan potong kuku?

Ah… Indahnya hari ini

Hari ini hari apa?

Hari ini hari Jum’at, besok mungkin hari Sabtu

Semoga Merapi tak lagi ber-abu

*tuisan ini ditulis pastilah hari Jum’at (26 Nov 2010), paling tidak untuk wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.


Foto Adalah Sebuah Cerita Tak Berbunyi

(ditulis di penghujung minggu, saat aku rindu, saat aku mengenang, saat aku lihat fotomu kawan…)

Foto adalah sebuah cerita tak berbunyi…

Foto adalah bait-bait puisi…

Foto adalah memoir yang tak terbuku..

Ku tatapi satu-persatu foto di layar monitorku, tergurat senyum yang aku sendiri bingung mengartikannya ketika setiap melihat foto-foto itu. Sebuah senyum yang aneh, bukan senyum penuh nafsu seperti melihat foto perempuan tak berbaju, tapi senyum yang maknanya tercampur rata seperti ketika aku mengaduk cappuccino yang ku buat 10 menit yang lalu. Setiap centi, setiap detail ku perhatikan dengan sempurna. Gradasi warna, cahaya, dan nuansanya tak luput sedikitpun dari pandanganku.

Hal ini sudah menjelma jadi agenda rutinku di penghujung minggu. Agenda yang tiba-tiba saja hadir pada saat aku mulai jenuh dengan rutinitas yang keras membatu. Mengamatinya, melemparkanku ke hulu-kehilir. Aku bisa menciptakan mesin waktuku sendiri tanpa takut tersetrum listrik seperti difilm-film tak masuk akal itu. Aku melayang lintasi waktu, kudengar tawa, kudengar tangis, kulihat cinta.. ah… sangat mengasyikkan.. hal itu buat aku tak mau kembali, aku ingin seperti ini saja.

Capppucino ku dingin tak ada tanda-tanda bahwa tadi aku menuangkan air panas kedalamnya, hujan pun tidak membunyikan sirine akan berhenti.. Aku tetap duduk disini kembali dengan layar monitor yang mengahdirkan gambar kaku dan segelas cappuccino yang dingin. Tiba-tiba foto itu bergerak-gerak, menggeliat dan semua gambar melihat kearahku sembari berbicara sampai mengeluarkan efek gema memenuhi kamar.

“Time is ticking my friend… and it won’t wait even just for a while. You’ve to accept that…”

Hening…

Dan kemudian terdengar lagi mereka berucap

“kawan… biarkan kami tersimpan rapi bukan di jejalan file-file komputermu, tapi di bagian terdalam dari memori otakmu…”

*teruntuk sahabat-sahabat terbaik. Miss the time we’ve spent together.

~Regards…

Ray


OPINI WARUNG KOPI

ditulis : juli 2009 (lupa tanggalnya/beberapa hari sebelum MU batal tanding ke Indonesia)

sebuah obrolan santai tentang “Inggris”, teknologi informasi, dan pendidikan

Di tengah permasalahan sosial saat ini, ditengah umbaran janji-janji calon presiden dan problematika DPT, sampai perkiraan timnas Indonesia All-star menang melawan MU, saya memilih untuk menenangkan diri, lebih tepatnya escape sejenak untuk duduk di sebuah coffee shop. Anda tidak usah bertanya dimana coffee shop itu, dan juga jangan dibayangkan tempat yang cozy dengan fasilitas wi-fi. Coffee shop ini sangat tidak menarik untuk dilihat dan menyalahi paham pemasaran sekarang dengan show case apa adanya. Seperti kebanyakan, menunya sangat biasa yaitu, kopi dan bermacam gorengan. Walaupun begitu, tempat ini menurut saya sangat nasionalis sekali, karena beragam karakter dan latar belakang diterima dengan hangat disini tanpa sedikitpun mengamalkan sikap primordialisme yang berlebihan (ah, sekiranya Indonesia bisa seperti itu). Satu hal lagi, di tempat ini isu-isu terbaru sering dibahas, dan kita bebas bersuara, beropini, ataupun mengomentari tanpa harus takut dituntut dan akhirnya dipenjarakan seperti kasusnya Prita. Dan hal ini yang membuat saya betah berlama-lama ditempat itu dan saya memposisikan diri sebagai pendengar yang baik untuk jual-beli opini tersebut . berawal dari “obrolan warung” berikut inilah tulisan ini di tulis.

“Sekarang ini SD kita sudah hebat lho?” seorang pelanggan membuka pembicaraan.

“Apanya yang hebat pak?” pengunjung yang lain menimpali.

“Iya! Hebat! karena sekarang saja SD sudah ada pelajaran bahasa Inggrisnya, itu tandanya generasi penerus bangsa ini bakalan maju.” Kata bapak itu membalas.

“Kok bisa maju pak? Katanya gara-gara bahasa Inggris, akhirnya bahasa sendiri gak ada yang beres, terus lambat laun budaya bangsa ini akan ditinggalkan.” Kata pelanggan yang lain.

“Kalau saya sih tidak berfikir sampai sejauh itu. lha wong saya ini kan bukan budayawan, saya kan cuma pernah dengar, katanya bahasa Inggris itu bahasa dunia, bahasa bisnis. Jadi kalau bisa menguasai bahasa Inggris berarti bisa menguasai dunia sekaligus bisnisnya.” Kata bapak itu menjawab.

Pengunjung yang lain mengangguk tanda sepaham.

Saya diam….

Opini bapak pelanggan warung kopi tadi mungkin tidak seratus persen benar, dan memang tidak bisa seratus persen benar, dan sepertinya tidak bisa juga untuk disalahkan. Karena kita tahu bahwa opini adalah hasil output dari persepsi setelah melalui tahap sikap. Tetapi paling tidak hal itu bisa kita lihat pada kenyataan yang ada sekarang ini, mulai dari usia pre-school bahasa Inggris sudah diajarkan. Terkadang saya juga berpikir, apa makna dari buta huruf atau illiteracy itu sekarang. Sempat terlintas dipikiran saya bahwa di zaman yang serba cepat dan segala sesuatu adalah harus Information Base Technology, menyebabkan illiteracy mengalami pergeseran makna, yang dulunya mungkin dianggap sebagai ketidakmampuan seseorang untuk membaca dan menulis, menjadi ketidaktahuan tentang penguasaan bahasa Inggris secara umum dan penggunaan aplikasi komputer. Bukan tanpa dasar, indikasi awalnya sering kita jumpai di hampir setiap pengumuman lowongan pekerjaan, baik itu di koran maupun media lainnya mencantumkan pelamar paling tidak menguasai kemampuan tingkat dasar dalam berbahasa “Inggris” dan “aplikasi komputer”. Sepertinya kebutuhan akan penguasaan dua kemampuan tersebut menjadi kebutuhan dan tujuan saat ini.

Dari sudut pandang yang berbeda, tentang berbagai disiplin ilmu yang di terapkan baik di dunia kampus, dan mundur kebelakang sampai tingkat sekolah dasar. Suka ataupun tidak, baik itu berupa buku materi, buku panduan, teori-teori dan bahkan hasil riset terbaru, hampir seluruhnya menyadur dari dunia luar, yang notabene menggunakan bahasa Inggris. Kalaupun ada dari dalam negeri, itupun juga harus dimasukkan kedalam jurnal ilmiah dengan versi bahasa Inggris. Apalagi kalau kita berbicara masalah Information base Technology yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Akan kita temui banyak hal yang saling berkaitan antara kemampuan dasar berbahasa Inggris dan hasil karya teknologi tersebut. Internet, sebagai contoh, begitu banyaknya pelajar, mahasiswa, guru, dosen, professional, dan termasuk penulis sendiri menggunakan fasilitas internet tersebut untuk menunjang pengembangan keilmuan, informasi dan networking mereka.

Di lain pihak, pemerintah pun melalui jajaran departemen-departemennya terus berupaya “memaksa” penguasaan kedua skill tersebut secara tidak langsung. Departemen Komunikasi dan Informasi (depkominfo) misalnya, mengupayakan internet masuk sekolah dan desa, serta menabuh genderang untuk internet murah. Departemen Pendidikan Nasional menyediakan jasa on-line untuk pelajar dan pendidik yang ingin mengunduh electronik book (e-book) secara murah sebagai alternatif penunjang sumber belajar-mengajar. Tentunya, program saja tidak bisa serta merta menjadikan tujuan itu tercapai dengan mudah, campur tangan dan kerjasama semua pihaklah yang berperan sangat penting dalam hal ini. Seperti dengan tersedianya ­hot spot di beberapa daerah tertentu dan pengadaan tenaga pengajar untuk bahasa inggris di tingkat dasar misalnya, adalah bukti salah satu peran serta aktif pemerintah daerah untuk tetap berkomitmen mengupayakan peningkatan mutu dan kualitas masyarakatnya, guna memerangi buta huruf . Sekarang, tinggal keinginan masyarakat itu sendiri untuk mau menggunakan dan mendukungnya.

Di tengah lamunan saya, si ibu penjual kopi nyeletuk “Alah pak…! ngapain sekolah tinggi-tinggi, pinter… ujung-ujungnya juga kayak saya jualan kopi…”

Pelanggan yang lain mengangguk dan berkata “Betul itu bu..! cari uang aja susah, malah ngomongin Inggris.”

Bapak tadi diam sambil tersenyum kecut…

Saya senyum-senyum sambil bergumam…

“ Ah… Ibu, gara-gara saking sibuknya jualan, pasti belum sempat nonton iklan pendidikan gratis di TV yang di bintangi oleh Cut Mini, atau jangan-jangan… si ibu belum bisa beli TV!?”


Prakata

Setelah sekian lama bersemedi, akhirnya aku memberanikan diri turun gunung untuk membuka cakrawala wawasan, melihat dan bahkan mencoba untuk merasakan realita yang mungkin bisa dideteksi oleh ilmu kebatinan yang ku warisi dari dua pendekar terhebat sepanjang masa.1

Beberapa jam pertama menapaki alam ini, aku sudah limbung… alam ini begitu berbeda, lain, acuh, angkuh dan terkadang ganjil. Aku merasa ilmu yang sudah ku pelajari dari dua pendekar terhebat sepanjang masa-pun terasa belum cukup untuk membuatku bertahan. Banyak pendekar-pendekar hebat berseliweran disini kadang membuatku merinding membayangkan betapa tingginya ilmu yang mereka miliki.

Aku merasa sangat kecil sekarang, menciut, sendiri…. di pojok ballroom luas para raksasa..

aku melempar pandang…

mataku terbelalak bercampur senang

aku tak sendiri……!

………………………………………………………………………………………….

1 jangan tanya siapa? paling tidak begitu saya menyebut mereka